WALI SONGO

BAB I

PENDAHULUAN

1. latar Belakang Masalah

Walisongo adalah nama suatu dewan mubaligh yang ada dipulau jawa. Apabila salahsatu anggota wali tersebut meninggal dunia maka akan diganti dengan wali lainnya berdasarkan musyawarah. Itulah sebabnya disamping sembilan wali yang sudah lazim dikenal kita masih mengenal nama wali seperti : Syeh subakir, Sunan Bayat, Sunan Geseng dan lain-lain.Dengan nama Walisongo” berarti sembilan orang wali. Mereka adalah Sunan Gresik, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid. Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Dan Sunan Muria anak Sunan Kalijaga.

Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat “sembilan wali” ini lebih banyak disebut dibanding yang lain. Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai “tabib” bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai “paus dari Timur” hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan Budha .

2. Perumusan Masalah

Dalam makalah ini dapat dirumuskan masalah, sebagai berikut :

1. Apa yang menjadi latar belakang berdirinya Walisongo, dipulau Jawa ?

2. Siapakah para Walisongo itu ?

3. Bagaimana para walisongo ini menyebarka Agama Islam ?

4. Ajaran apa yang diajarkan oleh para Walisongo ?

BAB II

PEMBAHASAN

A. SUNAN GRESIK

Nama asli Sunan Gresik adalah Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi.Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw.

Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia malah menikahi putri raja, yang memberinya dua putra. Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya. Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit.

Desa Sembalo sekarang, adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik. Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya. Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam

Ia merangkul masyarakat bawah -kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.

B. SUNAN AMPEL

Ia putera tertua Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya ( kota Wonokromo sekarang ).Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya, seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya.

Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari perkawinannya itu ia dikaruniai beberapa putera dan puteri. Diantaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M. Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun mengembangkan pondok pesantren.

Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15, menjadikan pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura. Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah.

Dia-lah yang mengenalkan istilah “Mo Limo” ( Moh main, Moh ngombe, Moh maling, Moh madat, Moh madon ). Yakni seruan untuk ” tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina.” Sunan Ampel wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.

C. SUNAN BONANG

Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban. Sunan Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta. Setelah cukup dewasa, ia berkelana untuk berdakwah di berbagai pelosok Pulau Jawa. Mula-mula ia berdakwah di Kediri, yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia mendirikan Masjid Sangkal Daha. Ia kemudian menetap di Bonang -desa kecil di Lasem, Jawa Tengah -sekitar 15 kilometer timur kota Rembang.

Di desa itu ia membangun tempat pesujudan atau zawiyah sekaligus pesantren yang kini dikenal dengan nama Watu Layar. Ia kemudian dikenal pula sebagai imam resmi pertama Kesultanan Demak, dan bahkan sempat menjadi panglima tertinggi. Meskipun demikian, Sunan Bonang tak pernah menghentikan kebiasaannya untuk berkelana ke daerah-daerah yang sangat sulit. Ia acap berkunjung ke daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura maupun Pulau Bawean. Di Pulau inilah, pada 1525 M ia meninggal. Jenazahnya dimakamkan di Tuban, di sebelah barat Masjid Agung, setelah sempat diperebutkan oleh masyarakat Bawean dan Tuban.

Tak seperti Sunan Giri yang lugas dalam fikih, ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran Ahlussunnah bergaya Tasawuf. Ia menguasai ilmu Fikih, Usuludin, Tasawuf, Seni, Sastra dan Arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang piawai mencari sumber air di tempat-tempat gersang.Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat Cinta.. Menurut Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan makrifat dan kepatuhan kepada Allah SWT atau Haq al Yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya melalui media kesenian yang disukai masyarakat.

Dalam hal ini, Sunan Bonang bahu-membahu dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga. Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau tembang tamsil. Salah satunya adalah “Suluk Wijil” yang tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa’id Al Khayr (wafat pada 899). Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah Fansuri. Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru.

Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan transedental (alam malakut). Tembang “Tombo Ati” adalah salah satu karya Sunan Bonang. Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam.

D. SUNAN KALIJAGA

Dialah “wali” yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam. Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya,Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya.Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon.

Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak.

Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga. Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung ” sufistik berbasis salaf ” bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah. Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi.

Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta, Perayaan sekatenan, Grebeg maulud, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya SunanKalijaga metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede – Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak

E. SUNAN GUNUNG JATI

Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina. Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.

Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya “wali songo” yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan. Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah. Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten. Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon. Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.

F. SUNAN KUDUS

Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang. Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.

Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol dari agama Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus. Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.

Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya. Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang dan Arya Penangsang.

G. SUNAN MURIA

Ia putra Dewi Saroh adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut.

Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti .

Cara beliau menjalankan dakwah ke-Islam-an adalah dengan jalan mengadakan kursus-kursus terhadap kaum dagang, nelayan, pelaut dan rakyat jelata.Beliaulah kabarnya yang mempertahankan tetap berlangsungnya gamelan sebagai satu-satunya seni Jawa yang sangat digemari rakyat serta dipergunakanya untuk memasukkan rasa ke-Islam-an ke dalam jiwa rakyat untuk mengingat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Disamping itu beliau adalah pencipta
dari gending “Sinom dan Kinanti”. Kini beliau dikenal dengan sebutan Sunan Muria, oleh karena beliau dimakamkan diatas gunung Muria, termasuk dalam daerah kerajaan Kudus.

H. SUNAN GIRI

Nama asli sunan giri adalah Raden Paku. Beliau dilahirkan dikerajaan Blambangan yang pada waktu diperintah oleh Prabu Menak Sembuyung. Raden paku lahir dari pasangan Syeh Maulana Ishak dan Retna Dewi kasiyan.Yang mana pada waktu itu kerajaan tersebut baru dilanda sebuah wabah penyakit yang mengakibatkan rakyat didalam kerajaan tersebut menjadi resah dan khawatir dengan banyaknya penyakit yang tidak kunjung pergi dari dalam kerajaan tersebut. Ketika Sunan giri lahir, beliau dihanyutkan oleh ibunya kelaut. Tak lama kemudian beliau ditemukan oleh seorang nahkoda kapal yang kaya raya diGresik yang bernama Nyai Ageng Pinatih yang kemudian bayi tersebut diberi nama Jaka Samudra. Dengan kelebihan dan karomah yang dimiliki oleh Jaka samudra, kemudian atas saran dari Sunan Ampel beliau dipondokkan diAmpeldenta.

Kemudian pada suatu hari, beliau disuruh oleh Sunan Ampel untuk pulang menemui ibunya diGresik, tak disangka ternyata ibunya adalah istri dari adik Sunan Ampel yang bernama Syeh Maulana Ibrahim Asmarandi. Sesuai dengan permintaan ayahnya pada waktu itu juga, Sunan Ampel merubah nama jaka samudra dengan nama Raden Paku atau Sunan Giri. Setelah itu beliau bersama Raden Maulana Makdum Ibrahim ( Putra Sunan Ampe ), pergi untuk menuntut ilmu agama di negeri Pasai, tempat Syeh Maulana Ishak yang tak lain tidak adalah ayah kandungnya sendiri.

Tiga tahun sudah Raden Paku dan Raden Makdum Ibrahim belajar ilmu agama seperti ilmu tauhid, dan tasawuf dinegeri Pasai. Yang kemudian mengajarkan serta mengamalkan ajaran tersebut didalam kehidupannya. Raden Paku menerapkan ilmu karena kecemerlangan otaknya, sehingga banyak orang yang mengatakan bahwa Raden Patah memiliki ilmu ladunni. Terdapat beberapa karya seni tradisional Jawa yang sering dianggap berhubungkan dengan Sunan Giri, diantaranya adalah permainan-permainan anak seperti Jelungan, Lir-ilir dan Cublak Suweng; serta beberapa gending (lagu instrumental Jawa) seperti Asmaradana dan Pucung.

I. SUNAN DRAJAD

Nama asli Sunan Drajat ialah Raden Syarifuddin. Ada juga yang menyebutkan dengan nama Raden qosim. Beliau merupakan putra dari sunan ampel yang melakukan dakwahnya didaerah Drajat disekitar daerah lamongan. Sunan Drajat adalah merupakan salah satu dari walisongo yang lain yang ikut mendirikan Masjid Demak dan turut mendirikan kerajaan demak. Beliau juga terkenal dimasyarakatnya pada waktu dengan wali yang memiliki jiwa yang sosial, denagn tidak memandang status apapun.

Dia adalah seorang waliullah yang berjiwa sosial, dalam menjalankan agama, selalu beliau juga tidak segan-segan pula memberikan pertolongan kepada kesengsaraan umum, seperti membela anak-anak yatim piatu, orang-orang sakit. para fakir miskin, dan lain-lain. Konon kabarnya beliau, adalah pencipta gending, pangkur, apabila dikatakan bahwa syarifuddin atau Sunan Drajat itu mempunyai jiwa sosial maka hal itu adalah benar. karena pada hakekatnya setiap pribadi muslim itu adalah juga seorang sosialis. bukanlah muslim namanya, jikalau dia tidak berjiwa sosial. sebab memang demikianlah ajaran di dalam agama Islam.

Dengan sikap yang demikian itu, membuat banyak rakyat didaerah tersebut banyak yang tertarik dengan terhadap apa yang telah mereka terima dan lihat dari sunan Drajat, terutama pada tingkatan akhlak yang dimiliki oleh sunan Drajat yang menjadikan pengikut yang setia. Dalam melakukan dakwah beliau menggunakan kesenian jawa yang mereka senangi yaitu alat musik gamelan, yang kemudaian beliau menciptakan sebuah lagu atau tembang yang berirama pangkur yang sampai sekarang masih disukai dan digemari oleh masyarakat jawa.

BAB III

KESIMPULAN

Dalam Urain tersebut, penulis dapat menyimpulkan :

1. Bahwa ke sembilan walisongo tersebut benar-benar merupakan seorang wali yang diutus oleh Allah untuk menyebarkan agama Islam.

2. Didalam penyebaran agama islam, banyak sekali tantangan dan hambatan yang dialami demi tegaknya agama yang benar dan sesuai dengan syari’at agama islam.

3. Didalam berdakwah, para walisonga banyak yang menggunakan peralatan tradisioanal yang sudah terdapat didaerah yang sudah ada dimedan untuk berdakwah.

4. Bahwa pertama kali muncul adanya walisongo, diawali dari pulau jawa.

5. Dengan kesabaran dan kekukuhan yang dimiliki oleh para walisongo, mampu mengajarkan serta menyakinkan ilmu tentang ketauhidan kepada Allah SWT.

REFERENSI

Ridwan,Muhammad.Drs. 1985. Kisah Walisongo.Bintang Usaha Jaya : Surabaya

Http://www.Walisongo.com

Http://www.pesantren.net

Http://netlog.wordpress.com/category/sunan-drajat/

3 responses to this post.

  1. Posted by bambang soenarjo on Oktober 7, 2009 at 9:59 am

    Bagaimana dengan syeh siti jenar yang juga penyebar agama islam di P jawa,mohon pencerahannya

    Balas

  2. Posted by rico on Oktober 31, 2009 at 3:33 am

    makalah di atas abstak nya gimna ya….???emang abstrak tu apa to…!!!???

    Balas

Tinggalkan komentar